[CLOSED]Shooting Stars

OOC: Adriano-Hyo Lee only

---

Malam adalah suatu misteri...huh?

Lalu apa yang dia lakukan sekarang? Bermain sebagai detektif, berusaha menguak misteri itu?

Konyol.

Pria muda berambut biru tua ini mendongak, menatap langit malam dengan bintang-bintang yang bertaut padanya. Ah, teringat legenda bintang jatuh? Heh. Dia tak pernah percaya hal seperti itu.

Pikirannya melayang selagi kakinya menginjak pasir putih yang lembut. Konon, bila ada bintang jatuh, maka mimpi akan terkabul. Well, mimpi pun dia tak lagi punya, apakah yang mau terkabulkan?

Malam itu dingin, apalagi di tepi pantai. Angin bertiup, membekukan tulangnya. Tapi dia tak peduli. Udara dingin ini tak berpengaruh apa-apa.

Dingin. Gelap.

Kristal cerulean itu sedikit menyiratkan kebingungan. Memandang ke segala arah, diikuti langkah kaki si pemilik. Tidak ada yang harusnya ia lakukan di sini. Pantai, malam hari. Musim dingin ini mungkin kurang wajar kalau seorang pemuda kecil berusia 14 tahun berjalan sendirian menyusuri pantai. Tanpa pengawasan siapa-siapa.

Hyo memang pergi diam-diam ke pantai. Allo-nii dan Kazu-jiichan tidak ada di apartemen. Allo-nii hari ini memang belum pulang dari pagi. Katanya, Allo-nii ada banyak kerjaan di luar. Akhir-akhir ini memang Allo-nii sibuk dengan pekerjaannya sebagai fotografer. Kalau Kazu-jiichan, masih kerja juga. Hah, dia sendirian di apartemen.

Karena itu, Hyo bermain ke pantai. Siapa tahu bisa bertemu teman-temannya. Well―bodoh juga mengharapkan teman-temannya ada di pantai. Apalagi saat musim dingin.

"Um? Adri-nii?"

Sosok pria yang dikenalnya tertangkap dalam pandangan pemuda itu. Hyo tersenyum, lalu berlari menghampirinya. Uh, mungkin dia akan dibentak lagi nanti. Yaa, sudahlah.

"Adri-nii! Sedang apa?" panggil Hyo, riang.

Dia masih menatap langit berbintang ketika didengarnya suara seseorang yang memanggilnya. Adriano pun menoleh. Dilihatnya sosok seorang bocah yang berlari ke arahnya. Ah, bocah itu...kenalan Kazu yang ditemuinya di bar bukan? Adriano hanya menyipitkan matanya sedikit, tapi tidak segera meledak seperti biasanya.

"...tidak ada," jawabnya kalem, masih termenung tanpa bergerak sedikitpun.

Matanya, bola rubi dan safir, pun memantulkan kerlap kerlip bintang di atas sana. Tatapan yang begitu sedih, gelap seperti temaram langit malam. Ah, dia sudah lupa rasanya bersama orang lain. Dia pergi ke sini juga karena dia tahu kalau tidak akan banyak orang di sini, mengingat malam itu sangatlah dingin.

"...kau sendiri, kenapa kau di sini?" tanyanya dengan tajam. "Anak kecil tak seharusnya berkeliaran di sini."

Langit berbintang di atasnya tampak begitu indah. Satu bintang, melengkapi bintang yang lain. Membentuk pola, menambah keindahan bola cahaya yang tampak mungil itu. Keindahan seperti ini kadang membuatnya ingin berbagi dengan orang lain. Dengan ayah dan ibunya. Tapi mereka jauh. Entah ada di mana. Mungkin mereka sedang memandangi langit malam sepertinya.

Setidaknya, Hyo berpikir begitu. Orangtuanya terlalu sibuk. Entah mereka mengingatnya atau tidak.

Pemuda itu tidak menyukai kesendirian. Karena itu, Hyo pergi mencari keramaian. Sayangnya tempat yang dikunjunginya sekarang kurang tepat. Ia malah sendirian. Walau akhirnya bertemu Adri-nii. Yah, siapa tahu Adri-nii mau menemaninya.

"Mm? Aku...jalan-jalan! Soalnya Allo-nii dan Kazu-jiichan belum pulang. Aku sendirian deh," Hyo tetap terdengar ceria, walau Adri-nii bertanya padanya dengan tajam.

"Umm...boleh aku menemani Adri-nii?"

Sudah dibilang, Hyo tidak suka sendirian. Karena itu, ia bertanya dengan polos pada pria bermata kontras itu. Penuh harap.

Every star shines indifferently
But when you smile, you shine brighter than all of them

...ditinggal sendiri, rupanya.

Adriano tahu kalau Kazu memang terus bekerja sampai malam. Tentu itu karena mereka sering bertransaksi saat malam. Mereka, yang bermain di dunia kegelapan. Di mana segala hubungan hanya demi keuntungan saja.

Karenanya, dia tidak siap dengan cahaya yang datang itu. Dia sudah memutuskan untuk membiasakan diri, tetap tenggelam dalam kegelapan yang tak terbatas ini. Tapi kenapa...cahaya itu terus mengganggunya?

"Terserah," gumamnya parau. "Tapi tak ada untungnya juga untukmu."

Dia menginjak sekeping kerang di dekat kakinya. Hah, rapuh. Matanya nampak dingin tanpa rasa ketika melakukan hal itu.

...dia tidak rapuh.

Walau tidak mendapat jawaban yang diharapkan, Hyo tetap tersenyum. Gumaman pria itu sudah cukup terdengar sebagai 'ya'. Hyo mengerti kalau Adri-nii pasti tidak akan mengatakan 'ya' secara terang-terangan. Persis Allo-nii. Sejak awal memang ia menganggap begitu.

"Boleh? Hehe, baiklah kalau begitu!" Hyo membalas, dan melangkah lebih dekat pada Adri-nii.

Senyuman di wajahnya tampak lebih cerah. Sebab ia tidak sendiri lagi. Rupanya memang tidak salah Hyo pergi ke pantai. Semoga nanti saat pulang, Allo-nii dan Kazu-jiichan sudah ada. Hyo ingin bercerita tentang pertemuannya dan Adri-nii di sini.

KRAK...

Suara pelan benda yang pecah mengusik telinganya. Hyo menoleh, mencari sumber suara. Ternyata dari sekeping kerang yang diinjak Adri-nii. Matanya membulat, iba. Ia duduk berjongkok di dekat kerang itu.

"Adri-nii, kenapa diinjak?" ia bertanya, sambil mendongak dan menatap pria itu. "Kerang ini kan, tidak salah apa-apa...kasihan..."

Hyo mengambil kerang itu. Meletakkannya di telapak tangan dengan hati-hati. Lalu berdiri.

Dengus angkuh itu keluar dari hidungnya dan diikuti dengan tatapan meremehkan dari kedua bola matanya yang unik itu. Nampak tidak peduli, dia hanya memandang dingin kerang yang dipegang anak itu, kerang yang tadi diinjaknya tanpa ampun.

"Kasihan? Jangan bodoh," tuturnya sedingin es. "Benda mati itu tak punya nyawa. Eksis pun tidak penting. Rapuh. Tidak berguna."

Perkataannya turun menjadi suatu gumaman yang rendah. Apa? Masakan dia jadi menumpahkan isi hatinya di depan anak kecil ini? Entahlah. Segalanya meluncur begitu saja tanpa bisa ia tahan.

"Tak ada impian dan masa depan, eksistensi yang menunggu untuk dihancurkan. Tapi tidak..."

Suaranya semakin merendah, memelan ke dalam suatu bisikan.

"Aku tidaklah rapuh..."

Teman-temannya dulu juga sering mengatakan hal yang sama pada Hyo. Dia bodoh. Kasihan pada benda mati. Bahkan tak jarang ada yang menatapnya dengan aneh, seolah dia sesuatu yang menjijikkan. Kadang, mereka menertawakannya. Orang lain tidak pernah mengerti. Karena mereka tidak kesepian sepertinya, bukan? Berada di tengah keramaian, namun terus kesepian.

Eksistensinya selalu diabaikan.

Mereka yang tertawa melihatnya, tidak tahu rasanya menjadi benda mati. Ada, namun tak pernah diindahkan. Mungkin Hyo hampir seperti itu. Ia ada, namun keluarganya tak pernah mengapresiasikan keberadaannya. Menyedihkan. Ia tidak bisa keluar dari kesepian itu.

"Kalau begitu...aku ini benda mati, ya?" Hyo menunduk. Lalu tersenyum menatap Adri-nii, senyuman yang terlihat sedih. "Aku ada, tapi seolah tak pernah ada. Aku tidak punya mimpi...dan aku selalu kesepian..."

Hyo menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke langit. Menatap bintang-bintang yang sejak tadi bermain satu sama lain. Memamerkan cahayanya yang gemerlap.

"Adri-nii...percaya cerita bintang jatuh?" pertanyaan itu terdengar diucapkan Hyo. Ia masih menengadah, lalu kembali bicara. "Kalau aku minta pada bintang jatuh untuk tidak kesepian lagi, dikabulkan tidak, ya?"

"Apa kau mau dianggap benda mati?"

Tidak menjawab, Adriano justru balik melemparkan pertanyaan ke bocah itu. Rupanya, tidak mungkin ada bintang yang selalu bersinar. Mereka pasti pernah mengalami apa yang namanya redup. Perbedaan antara dia dan bintang itu hanya terletak pada...cara mereka menyikapi kepahitan yang mereka rasakan, bukan?

"Jangan hanya merengek. Tunjukkan kalau kau kuat. Itulah seharusnya manusia," jawab pria ini dengan nada dingin.

Ketika pertanyaan mengenai bintang jatuh diutarakan, ekspresinya tidak berubah. Tetap datar dan tanpa rasa.

"Konyol. Mana mungkin. Bintang jatuh pun tak mungkin ada," jawabnya ketus. "Berharap pada omong kosong begitu sih percuma kalau tanpa usaha."

Pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan lagi. Dianggap sebagai benda mati, tidak pernah ada yang mau. Tapi Hyo hanya bisa tersenyum. Ia tidak tahu, jawaban apa yang pantas diucapkannya. Ia memang tidak mau dianggap sebagai benda mati, tapi ia tidak mengerti bagaimana caranya untuk terlihat sebagai dirinya sendiri.

"Setidaknya Adri-nii tidak menganggapku seperti benda mati, kan? Hehe..." ia terkekeh pelan, sambil membalas pertanyaan itu. Walau bukan jawaban seutuhnya.

Dan soal bintang jatuh. Well, Hyo sudah menduga akan mendengar jawaban seperti itu. Tidak percaya bintang jatuh? Hei, memangnya salah punya harapan? Mempercayai suatu hal itu normal. Termasuk bintang jatuh.

"Hmm...mau taruhan?" Hyo menantang sambil tersenyum jahil. "Kita buktikan siapa yang benar. Menurutku bintang jatuh itu ada. Bagaimana?"

Ide yang spontan muncul itu sengaja diutarakannya. Siapa tahu bisa membuat Hyo mengenal Adri-nii lebih jauh, kan?

Apa dia menganggap anak itu sebagai benda mati?

Apa...tidak, siapa anak itu baginya?

You are like the shooting stars...

Sebagian mempercayai, dan sebagian lagi menyangkal keberadaannya. Tapi dia terus ada di sana, bersinar dan memberikan harapan. Itukah bintang jatuh?

Semua harapan telah hilang darinya. Hari itu, dia tak lagi melihat masa depan. Mimpi dan harapannya telah terinjak, hancur. Cahaya hanya mampu dilihatnya, tanpa mampu diraih. Dan dia terus tenggelam dalam kegelapan itu...

"Boleh juga," gumamnya pelan. "Menurutku, bintang jatuh itu tak ada. Yang kalah bisa menuruti permintaan yang menang."

Dan, tepat setelah kata terakhir meluncur dari mulutnya, sekelebat sinar terlihat melintas di langit.

Bintang jatuh...

Sesuai dugaan, pasti akan mengatakan tidak ada. Hyo tersenyum lebar, entah kenapa percaya kalau dirinya yang akan menang. Padahal bukankah bintang jatuh tidak selalu ada? Jika kau berhitung dari satu sampai seribu, mungkin sampai hitungan keseribu tetap tidak ada cahaya bintang jatuh yang kau lihat. Tapi malam ini, Hyo berani bertaruh kalau pasti akan ada bintang jatuh. Hm? Kenapa?

Kenapa ia berani berharap, setelah sekian lama melupakan harapan?

Sempat terbersit rasa pesimis, tapi saat menatap pemilik mata rubi dan safir itu, Hyo merasa ia menemukan alasannya untuk berharap. Membuktikan ia bukanlah benda mati. Ia tak mempercayai perasaan itu, tapi...

"Adri-nii! Lihat, bintang jatuh!" pemuda kecil itu berseru riang. Sedikit melompat, dan menunjuk ke arah bintang jatuh itu terlihat.

'Aku berharap...'

"Hehe, aku menang, kan?" ia tersenyum penuh kemenangan.

'...aku berharap alasanku untuk memiliki harapan tetap ada bersamaku...'

Matanya menatap tidak percaya kilatan yang bergerak di langit saat itu. Tidak mungkin. Hal yang mustahil seperti itu tidak mungkin eksis, bukan?

Sama seperti harapan dan mimpinya yang tidak mungkin kembali lagi.

Apakah itu berarti...selalu ada kemungkinan untuk segala sesuatunya?

Selama ini, dia merasa kalau yang dilihatnya hanya kegelapan saja. Sejak lahir, yang dilihatnya selalu sisi gelap dunia. Pengkhianatan, pembunuhan, pemerasan. Karenanya, dia tak percaya kalau cahaya eksis untuk orang sepertinya.

Dia pun melirik bocah di dekatnya itu. Heh, rupanya...dia kalah taruhan, eh? Sekarang dia harus menuruti keinginan bocah itu.

"Iya iya, kau yang menang. Cepat katakan apa maumu, bocah," ujarnya kesal dan tak sabar.

Tebaklah bagaimana perasaan Hyo sekarang. Senyuman cerah tergambar di wajahnya, dan bola cerulean itu berpendar penuh kegembiraan. Tak perlu ditanya, tentu ia sangat senang. Tapi bukan karena menang taruhan ini, melainkan karena bisa membuktikan kebenaran hal yang dianggap lawan bertaruhnya tidak pernah ada. Bintang jatuh memang ada.

"Hee...aku mau..." Hyo berpikir sejenak, melirik ke arah lain. Apa yang diinginkannya? Apa--

Oh, iya.

"Adri-nii jadi temanku, ya?" ujarnya, penuh kemenangan.

Permintaan itu memang sederhana, tapi Adri-nii memang belum mengatakan secara langsung kalau mereka berteman. Hyo ingin mendengarnya sekarang. Mungkin terdengar aneh, tapi memang hal itu yang paling diinginkannya sekarang.

Hah? Dasar memang anak ini yang membingungkan atau dianya yang tidak bisa menarik kesimpulan sih? Menurut prinsip dunia kegelapan, di saat ada kesempatan, gunakanlah itu semaksimal mungkin. Dengan kata lain, kalau ada kondisi seperti ini, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selagi bisa, mintalah sampai batas terakhir...

Tetapi anak ini berbeda. Yang dimintanya sangatlah sederhana. Menjadi teman. Oke, memang baginya itulah hal yang paling sulit. Dia yang tak lagi mengenal kata teman, bagaimana caranya untuk menjadi teman dari orang lain? Tapi itu berarti prinsip yang selama ini dia pegang teguh memang juga diterapkan anak itu. Karena menjadi teman...adalah hal maksimal yang bisa dia berikan.

...benarkah?

Benarkah itu adalah hal yang terakhir yang bisa dia berikan?

Entahlah. Dia bahkan tidak mengerti. Hari ini terlalu banyak yang berbeda dari kesehariannya. Semuanya berbeda. Dia kalah taruhan, bintang jatuh benar-benar ada...

...merepotkan.

"Ya sudah, terserah," jawabnya pendek. "Tapi belum tentu aku bisa bersikap seperti yang kau mau."

"Tidak usah bersikap sesuai keinginanku, kok. Teman tidak akan memaksa seperti itu!"

Senyumannya melebar saat mendengar jawaban dari permintaannya. Teman, ya. Sebenarnya tidak perlu ada pernyataan kalau mereka berteman. Hyo sudah merasa, mereka berdua terikat. Entah oleh apa. Tapi semakin lama ikatan itu terasa nyata. Mungkin ikatan itu adalah 'pertemanan' yang baru dijawab kejelasannya. Teman, mereka memang teman.

Tapi...ikatan tak terlihat itu, rasanya berbeda.

Sekarang, Hyo belum mengerti. Ia hanya tahu kalau Adri-nii adalah temannya. Namun, ada sesuatu di hatinya yang mengatakan kalau ikatan ini akan berubah. Bukan hanya pertemanan? Pemuda itu tak mengerti. Apa yang ia rasakan belum sampai di ruang pengetahuannya.

Sementara mungkin mereka teman. Entah apa yang akan terjadi di detik berikutnya. Yang penting, jalani dulu kan?

"Oh iya, ada satu permintaan lagi!" ujar si pemuda, sambil menarik tangan pria muda―temannya itu. "Adri-nii harus membuatkan makan malam untukku. Ayo, pulang! Aku mau makan carbonara, untuk informasi. Hehe..."

Hyo tersenyum riang, sambil menarik tangan Adri-nii. Melangkah di atas pasir putih, tanpa mengetahui ada sebuah bintang jatuh lagi yang melewati langit malam di atasnya.

[OUT]

Teman tidak akan memaksa untuk berbuat sesuai keinginan semata...eh?

Mungkin segalanya bisa berubah. Mungkin dia bisa kembali mengenal apa itu relasi dengan orang lain. Dan mungkin juga...

...mungkin juga...

Wajahnya berubah datar saat anak itu mengajaknya pulang dan memintanya untuk masak. Sial, jadi koki dadakan nih?

...sebenarnya...tidak masalah juga sih.

"Terserahlah," jawabnya pasrah sambil membiarkan dirinya ditarik pergi.

(OUT)